Rabu, 22 Januari 2014

Soul Healer 2

♪ Believe that I would be the one to heal you~ ♪

credit: flickr
Itu yang kutulis di postcard dengan latar berwarna biru dan ada siluet seseorang sedang duduk bersila, yah katakanlah sedang beryoga. Aku sudah tiba di lantai 11, kedua pintu elevator terbuka anggun, melangkahkan kaki mantap lurus lalu belok kiri dan sampai di mejanya. Sepagi ini masih sepi, tentu aku tak takut tertangkap basah olehnya. Lalu aku keluar dari ruangannya, menuju ruanganku. Lantai yang sama, hanya beda ruangan saja.
Aku membuka jurnal harianku, ternyata sudah setebal ini yang kutulis selama 20 tahun terakhir. Dan ini tinggal dua lembar lagi, berarti harus beli yang baru. Ah, kalian tanya isinya? Apa biasanya yang ditulis oleh seorang laki-laki di jurnal hariannya?
Hahaa.. Yayaya, oke. Sorry to say, semua jawaban kalian salah. Aku menulis data "pasien"ku dan segala perkembangannya. Bukan, aku bukan dokter atau psikiater. Aku seorang soul healer. Hmm bagaimana ya kujelaskan. Oh kalian sudah tahu? Good to know.
Yang kutahu, ada banyak soul healer berkeliaran di bumi, tapi rasio dengan orang normal hanya 1:3. Jika kalian tahu soul healer, kuharap kalian tahu juga tugasnya. Tapi yang membedakan adalah dari cara kerja masing-masing soul healer, karena manusia punya otak yang berbeda-beda sehingga tingkat kreatifitasnya pun berbeda bukan?

Dan beginilah caraku: memilih kadar "sakit" yang terparah dari semua teman-temanku. Iya teman -setidaknya orang yang kukenal- bukan langsung dapat pasien.
Dari teman itulah justru menjadi pasienku. Tentu tiap tahun teman-temanku bertambah, makin bervariasi. Apalagi aku sudah bekerja, kian bertambah kenalanku. Ah ya, sebagai informasi, aku tahu bahwa aku seorang soul healer sejak usia 7 tahun. Dan sekarang, pasienku hanya ada 1, seorang perempuan. Tiap hendak kutulis di jurnal tentang perempuan ini, rasanya meringis. Semoga yang kutulis di postcard biru tadi bisa membuatnya kian sadar.

Tiap hari, aku gatal ingin melihat reaksinya. Syukurnya aku tinggal melongo melihat kaca jendela apa ia sudah tiba di desknya atau belum, dan kali ini kuputuskan menunggu beberapa menit lalu kukirim sebuah surel jika ia sudah membaca postcard dariku.
From: soulhealer00@almighty.net
Bukan karena sunyi malam yang menelanjangimu, tapi ada keredupan di batinmu. Cobalah kau dekap hening lalu luruhkan kesalmu..
♪ I won't say you're wrong, but you know that I'll worry about you ♪

Ini baru pertama kali aku mengiriminya surel, tapi jika postacard sudah kukirim 23buah selama dua bulan terakhir. Bagiku jika mengirim melalui surel, ini sudah tingkat kronis. Kali ini pasienku betul-betul butuh penanganan ekstra, hingga mengakibatkan suatu kondisi aku harus bertemu dengannya. Bagiku mudah saja sih, tapi ini perempuan yang beda, sangat pendiam dan misterius. Sulit kutebak pikirannya. Inilah masalahnya: bagaimana aku memperkenalkan diri?

***
"Ehem," aku berdeham ringan pada gerombolan perempuan penggosip ini. Aku tahu siapa yang mereka bicarakan, Brigitha -pasienku- dan (tentu) aku. Bisik dan lirikan mereka amat tidak menyukai jika Brigitha dekat denganku, hanya soal meja makan yang kosong di kantin 4 minggu lalu karena aku memberinya sebuah kursi kosong di sebelahku, sedang para perempuan bigos itu juga ingin duduk denganku. Iya, aku charming. Sudahlah, tak perlu iri. Kugunakan sebaik mungkin ke-charming-anku.
"Eh, ada Angga.."
"Boleh lewat?" Tanyaku dengan muka datar.
"Mau ke mana, Ngga?" Goda salah satu dari mereka dengan mengerlingkan matanya. Sebetulnya mereka juga "sakit" sih, tapi biar ini jadi urusan soul healer lain, aku jijik dengan mereka.
"Mau lapor ke bos kalau kalian nggak kerja,"
Air muka mereka langsung berubah kesal, balik kanan bubar jalan.
"Githa?" Aku melempar senyum terbaik. Brigitha menoleh dan tersenyum tipis, kedua alisnya terangkat seolah bertanya: Ada apa?.
"Nanti malam ada acara?"
"Enggak, emang kenapa?"
"Eh, tapi kamu suka lukisan nggak? Di cafe library ada pameran nih.."
Brigitha memutar bola matanya, "Pameran lukisan?"
Aku mengangguk cepat.
"Boleh deh, jam berapa?"
"Jam 8,"
Brigitha mengangguk dan tersenyum tipis, "See you there.."
"Eh aku jemput kamu!"
"Ooh, oke.." ucapnya datar.
Aaahh~ syukurlah ia mau. Asal kalian tahu saja, aku sudah pesimis duluan tadi meski aku sudah memulai pembicaran pada minggu-minggu sebelumnya.

***
Aku sungguh tak kuasa melihat sorot mata Brigitha hari demi hari, tapi kini ada sorot mata lain yang memenuhi bola matanya saat melihat lukisan abstrak di depannya. Ia berdiri mematung sambil bersidekap. Sejenak aku menundukkan kepala, diam-diam berdoa untuknya. Untuk "kesembuhannya". Karena tak mungkin aku dekap, meski sangat ingin kulakukan. (Psst... Sentuhan bisa mempercepat penyembuhan. Masih ingat kan pada kasus soul healer lain?)
"Angga," panggilnya sambil memegang lembut lengan kiriku. "Kamu sakit?" Tanyanya cemas.
"Aku sehat kok! Kenapa?"
Ia tersenyum lebar, "Kamu kayak orang sakit gitu pake merem segala," ujarnya sambil memukul ringan punggungku.
Aku menyeringai. Tidakkah ia manis? Tanya batinku. Aku hanya tersenyum tipis. "Eh, ke sana yuk!" Telunjukku mengarah ke kanan. Brigitha mengangguk.
Kedua tangan Brigitha saling berpeluk, seperti sorot mata terkagum-kagum. "Ini hebat!" Serunya. "Angga, makasih banyak ya udah ngajak aku ke sini..." akunya dengan mata berkaca-kaca.
Ya Tuhan, tatapan selama 7detik darinya membuat hati ini berdesir lembut. Apa karena ini yang membuat sistem respirasiku tak berjalan normal? Kakiku lemas~~

 ***
Aku memeluk kencang Brigitha di depan belasan toapekong sesaat setelah berdoa. Pelukan yang pertama setelah 14 minggu kuputuskan untuk bertemu dengan pasienku, tapi setidaknya aku jadi ingat saat Brigitha menggenggam tangan kiriku dengan tangan kanannya saat terakhir melihat lukisan sebelum pulang. Itu kontak fisik pertama kalinya.
"Thanks.." Hanya ucapan itu, tapi genggamannya sangat menunjukkan arti bahwa kali ini ia bisa tersenyum. Ia merasa sembuh.
Aku juga tak merasa seberhasil ini saat menyembuhkan orang lain. Dalam proses kesembuhan Brigitha semacam ada kekuatan tambahan bagiku bahwa aku akan semakin menyehatkannya. Aku masih memeluknya.
"Aku percaya kamu dikirim oleh semesta untuk menyembuhkanku. Karena kamu, aku paham bagaimana membuang sakitku," ujar Brigitha.
Aku menatap lembut kedua matanya. "Dan ingat, rasa sakit ada bukan untuk dipelihara melainkan dipangkas. Jangan biarkan semua hal yang berhubungan dengan sakitmu kembali mengusai jiwamu, kamulah yang pegang kendali atas hidupmu."

1 komentar:

  1. hei, aku tertarik sama artikelmu tentang graffiti di kompasiana,,,
    dan kebetulan aku lagi buat tugas akhir yang ada hubungannya sm graffiti, mungkin kamu bs jd narasumber,,,, hehe semoga,,,
    bila bersedia mungkin km bisa membalas komentku dengan email ke ailham307@gmail.com

    BalasHapus