Jumat, 03 Mei 2013

Soul Healer


“Untuk apa menyapamu jika nanti ada luka yang kembali menganga.”
 Fajar bergerak pelan menuju jalan lahir. Syukurlah masih di timur, berarti ini bukan akhir. Aku duduk manis di atas ayunan yang kedua rantai penyangga sungguh berkarat. Tak masalah, yang penting cintaku tak pernah bersyarat.
”Kamu di mana?“
”Nanti aja ya teleponnya,“ tut-tut-tut-tut.
Aku menekuk muka. Memang kudu ekstra sabar jika berhadapan dengannya. Baiklah.. Mataku melihat almanak. Ah, ini tahun ketiga kita berpacaran. Dan peluk rinduku tak pernah kesampaian. Memang seharusnya kubuang dirimu, tapi ada yang berbisik padaku bahwa. Ah, sudahlah.. Aku tak pernah kuasa mengungkap hal ini.
Biar kutanya, biasanya apa yang mendasari kalian berpacaran? Ah, lebih gampangnya begini: apa alasan kalian untuk berkomitmen dengan pasangan?

Cinta?
Banyak yang begitu jawabannya, tapi pernahkah kalian menemukan alasan untuk "menyembuhkan" orang tersebut? Kalian sengaja membuatnya nyaman, lalu jatuh cinta padamu, kemudian perlahan kalian melancarkan visi-misi. Makin bingung ya? Apa pula ada kata "menyembuhkan"? Memangnya orang itu, orang sakit apa?!
Ya! Mereka "sakit". Jadi kalian datang untuk "menyembuhkan". Biar kuceritakan sedikit, aku bertemu dengannya secara sengaja, dan aku "membaca" dirinya. Kesimpulan dari pertemuan itu, aku harus dekat dengannya. Terdengar aneh ya? Baiklah, kuceritakan perlahan.. kuharap kalian paham.
Aku seorang soul healer. Jarang ada profesi semacam ini yang tercatat di catatan sipil, jadi jelas saja terdengar aneh. Seorang soul healer bisa menyembuhkan karena dari sentuhan, tutur kata, dan pandangan mata. Biasanya aku memilih lelaki dengan kadar "sakit" yang menengah ke atas. Dari mana aku tahu? Ah, sungguh tak ada alat yang membantuku untuk membaca itu semua jadi sulit kujelaskan. Aku hanya butuh sesendok teh kontak fisik, segelintir kisah, dan sebuah tatapan. Dari situlah aku tahu kadarnya, perlu disembuhkan atau tidak. Jika perlu disembuhkan, maka aku akan bergenit-genit ria sebagai bumbu.
Jika berhasil, maka selama dalam hubungan pacaran itu akan banyak sekali usaha yang kulakukan. Mulai dari sentuhan yang penuh cinta sekaligus mengalirkan arus energi yang kian menyehatkan untuk "kesehatan"nya, sampai sebuah rapalan doa. Tapi kebanyakan dari mereka tak menyadari, kebanyakan dari mereka justru tahu bahwa memiliki pasangan hanya sebagai status. Menyedihkan sekali, bukan?
Ah, kalian mengerutkan kening. Biar kupermudahkan, pernah mendengar ada salah satu pasangan yang berkata pada pasangannya begini: Ah, Sayang, kau tahu, kau adalah obat segala obat dari semua masalahku.
Jika ada pasangan yang sudah menyadari hal itu, maka soul healer akan memilih hidup seterusnya dengan orang tersebut. Bisa dibilang, soul healer mencari inang untuk hidup simbiosis mutualisme.
“Aku mau bicara,”
“Soal apa?”
“Kita...”
“Iya, kenapa?”
“Sekarang kamu bebas, aku juga bebas. Kamu di jalanmu, aku di jalanku..”
Aku bisa tahu dari sorot matanya yang penuh penyesalan, tapi kubiarkan. Aku memilih balik badan, seterusnya pergi darinya. Memang setelah ini aku akan mencap diriku sebagai soul healer yang tak becus. Tapi peduli apa dirinya dengan hatinya sendiri? Peduli dengan pasangannya saja sering diabaikan! Aku hanya membesarkan hatiku sendiri bahwa dirinya tak ada keinginan "sembuh".

Pertemuan kini memang disengaja kembali. Tapi tak ada sapa yang menggenapi. Untuk apa menyapamu jika nanti ada luka yang kembali menganga.



*repost February 9 2013 @posterous.com*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar